Minggu, 29 Mei 2016

Rusaknya Moral Generasi Muda

Budaya asing yang masuk ke indonesia membawa dampak yang sangat besar dalam kehidupan generasi muda saat ini.Tidak semua budaya asing membawa dampak positif bagi generasi muda saat ini,untuk itu kita sebagai generasi muda harus dapat memilah-milah budaya asing yang masuk ke indonesia.Dalam menyikapi kebudayaan yang masuk kita harus berupaya menanggulanginya agar jati diri kita sebagai anak bangsa tidak rusak. 

Banyaknya tindak kejahatan yang terjadi saat ini juga tidak lepas dari budaya asing yang masuk, tindak kriminal, narkoba,tawuran, perkosaan, pergaulan bebas terjadi karena generasi muda kita meniru kebudayaan asing yang menurut mereka sudah tidak tabu lagi untuk diikuti. Inilah fenomena yang terjadi pada generasi muda kita saat ini akibat tidak bisa memilah budaya asing yang masuk.Dalam hal ini pemerintah dan juga kita sebagai generasi muda mulai saat ini, jangan begitu saja menerima budaya asing yang masuk agar generasi muda Indonesia tidak hancur dan kita semua dapat membangun Indonesia menjadi negara yang Maju tanpa pengaruh budaya asing.

Dari masalah ini semua yang mendasarinya adalah arus globalisasi yang tak bisa dibendung lagi. Arus globalisasi begitu cepat merasuk ke dalam masyarakat terutama di kalangan muda. Pengaruh globalisasi terhadap anak muda juga begitu kuat. Pengaruh globalisasi tersebut telah membuat banyak anak muda kita kehilangan kepribadian diri sebagai bangsa Indonesia. Hal ini ditunjukkan dengan gejala- gejala yang muncul dalam kehidupan sehari- hari anak muda sekarang.

Dari cara berpakaian banyak remaja- remaja kita yang berdandan seperti selebritis yang cenderung ke budaya Barat. Mereka menggunakan pakaian yang minim bahan yang memperlihatkan bagian tubuh yang seharusnya tidak kelihatan. Pada hal cara berpakaian tersebut jelas- jelas tidak sesuai dengan kebudayaan kita. Tak ketinggalan gaya rambut mereka dicat beraneka warna. Pendek kata orang lebih suka jika menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Tidak banyak remaja yang mau melestarikan budaya bangsa dengan mengenakan pakaian yang sopan sesuai dengan kepribadian bangsa.

Teknologi internet merupakan teknologi yang memberikan informasi tanpa batas dan dapat diakses oleh siapa saja. Apa lagi bagi anak muda internet sudah menjadi santapan mereka sehari- hari. Jika digunakan secara semestinya tentu kita memperoleh manfaat yang berguna. Tetapi jika tidak, kita akan mendapat kerugian. Dan sekarang ini, banyak pelajar dan mahasiswa yang menggunakan tidak semestinya. Misal untuk membuka situs-situs porno. Bukan hanya internet saja, ada lagi pegangan wajib mereka yaitu handphone. Rasa sosial terhadap masyarakat menjadi tidak ada karena mereka lebih memilih sibuk dengan menggunakan handphone.

Dilihat dari sikap, banyak anak muda yang tingkah lakunya tidak kenal sopan santun dan cenderung cuek tidak ada rasa peduli terhadap lingkungan. Karena globalisasi menganut kebebasan dan keterbukaan sehingga mereka bertindak sesuka hati mereka. Contoh riilnya adanya geng motor anak muda yang melakukan tindakan kekerasan yang menganggu ketentraman dan kenyamanan masyarakat.

Jika pengaruh-pengaruh di atas dibiarkan, mau apa jadinya genersi muda tersebut? Moral generasi bangsa menjadi rusak, timbul tindakan anarkis antara golongan muda. Hubungannya dengan nilai nasionalisme akan berkurang karena tidak ada rasa cinta terhadap budaya bangsa sendiri dan rasa peduli terhadap masyarakat. Padahal generasi muda adalah penerus masa depan bangsa. Apa akibatnya jika penerus bangsa tidak memiliki rasa nasionalisme?

Berdasarkan analisa dan uraian di atas pengaruh negatif globalisasi lebih banyak daripada pengaruh positifnya. Oleh karena itu diperlukan langkah untuk mengantisipasi pengaruh negatif globalisasi terhadap nilai nasionalisme.
Rusaknya generasi muda saat ini ditandai dengan mulai lunturnya nilai-nilai moral yang dimulai dari hilangnya budaya malu. Karena hilangnya budaya malu ini, para generasi muda saat ini tidak segan-segan untuk mencoba hal baru seperti rokok, minuman keras dan narkoba. Tidak hanya itu, hilangnya budaya malu ditambah dengan minimnya pendidikan agama membuat generasi muda kita tidak malu lagi memakai pakaian tidak seronok. Bukan hanya itu saja, mereka pun tidak malu lagi untuk melakukan perilaku tidak seronok bahkan dengan bangga memperlihatkan dan memperagakan perilaku tidak seronok tersebut.

Bukankah sering kita jumpai para remaja putri menggunakan pakaian tidak seronok bahkan sudah menjadi tren tersendiri. Mereka tidak segan dan malu lagi untuk memakai celana hot pant, rok mini bahkan mereka dengan bangga memamerkan itu semua menggunakan motor matic keliling komplek. Bukankah mereka punya orang tua? Apakah orang tua mereka tidak tahu hal tersebut? Ya, benar mereka punya orang tua, hanya saja para orang tua malah justru menganggap yang seperti itu adalah wajar dan tren.
Selanjutnya, dari pakaian yang tidak seronok itu kemudian muncul fenomena berikutnya yaitu pergaulan bebas. Bukankah dengan enteng orang tua mengijinkan anaknya untuk keluar malam saat ini? Bukankah dengan mudah akan kita jumpai pada malam hari di flyover atau dijalan tembusan yang gelap para pemuda dan pemudi sedang asyik berduaan? Ya, fenomena pergaulan bebas seperti sudah menjadi wabah yang penyebarannya sulit sekali dihentikan. Dan itu semua bermula dari kurangnya pengawasan orang tua ditambah dengan acuhnya masyarakat sehingga dua suplemen ini menjadikan wabah pergaulan bebas menular dengan cepat. Jadi jangan salahkan remaja jika pakaian dan perilaku mereka tidak seronok.

Pergaulan bebas tidak melulu diartikan dengan free sex atau hamil diluar nikah. Tapi lebih dari itu, pergaulan bebas adalah memberikan kebebasan secara berlebihan dengan generasi muda sedangkan mereka tidak memiliki pemahaman tentang resiko dan bahaya atas segala tindakan yang mereka lakukan. Disinilah peran keluarga sangat penting dalam menanamkan nilai moral dan agama kepada anak-anaknya sebelum mereka diberikan kebebasan untuk menyerap nilai dan moral dari komunitasnya.

Masyarakat harus memberi contoh yang baik serta peduli dengan penyimpangan perilaku generasi muda. Selain sebagai pendidikan kedua setelah keluarga, lingkungan dan masyarakat memiliki andil yang besar dalam mendidik para generasi muda. Lunturnya nilai moral remaja tidak bisa dilepaskan dari buruknya peran serta lingkungan dan masyarakat dalam fungsi pengawasan dan pembinaan. Masyarakat yang acuh tak acuh terhadap perilaku menyimpang yang terjadi di lingkungan tersebut akan menjadi legitimasi dan legalitas terhadap perilaku menyimpang tersebut. Perilaku menyimpang ini bukan tidak mungkin akan ditiru oleh para generasi penerus mereka.

Sering kita jumpai di masyarakat dimana minuman keras dan narkoba adalah sebuah budaya. Dimana setiap kali ada hajatan atau pesta maka tidak lengkap rasanya bila tidak ada minuman keras. Bukankah perilaku dan budaya seperti itu terekam oleh para generasi penerus kita. Bukan tidak mungkin mereka akan mencontoh atau bahkan ikut serta dalam pesta minuman keras tersebut.

Beberapa hari lalu bahkan sampai sekarang ini, kita disuguhi dengan budaya mabuk yang berakhir dengan maut. Budaya dari sebuah komunitas masyarakat yang menjadikan minuman keras sebagai pelengkap pesta. Minuman keras dan mabuk yang dilumrahkan oleh masyarakat secara tidak langsung akan berdampak buruk bagi mentalitas remaja dan kaum muda. Mereka setiap hari disuguhi minuman keras, diberi tontonan mabuk-mabukan secara tidak langsung akan menganggap bahwa minuman keras dan mabuk-mabukan adalah hal yang biasa. Jadi jangan salahkan pemuda jika mereka mabuk-mabukan juga.

Menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif dan ideal untuk perkembangan mentalitas dan moralitas pemuda memang tidaklah mudah. Namun setidaknya jangan tunjukkan dan contohkan perilaku yang buruk dihadapan mereka. Peran serta masyarakat dalam pengawasan perilaku menyimpang di lingkungan sangat penting untuk mendukung tumbuh kembang moral para pemuda. Kegiatan yang positif seperti karang taruna dan remaja masjid perlu kembali digalakkan untuk mengarahkan dan mendidik mentalitas serta moralitas pemuda.

Agama adalah benteng terakhir.
Tidak dapat dipungkiri bahwa agama adalah benteng terakhir dalam mencegah lunturnya moralitas dan mentalitas generasi muda. Pendidikan agama yang ditanamkan sejak dini dan berkesinambungan secara langsung akan membangun mental dan moral generasi muda. Generasi muda yang dididik dengan baik keagamaannya akan memiliki “rem”, setidaknya penghambat, untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan. Sebaliknya, bila generasi mudah tidak ditanamkan nilai-nilai keagamaan yang baik dan berkesinambungan maka kesempatan untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan akan semakin besar. Padahal kita semua tahu bahwa nilai-nilai keagamaan selalu mengajarkan hal baik dan selaras dengan pembangunan moralitas serta mentalitas.

Sebagai benteng terakhir, agama memang memegang peranan penting dalam mencegah degradasi moral dan mental. Untuk itu perlu peran serta tokoh agama dalam pembinaan keagamaan di lingkungan. Selain itu juga, perlu difasilitasi berbagai kegiatan sosial keagamaan yang menyasar para pemuda sebagai motor utamanya seperti Ikatan Remaja Masjid, Kelompok Pengajian Remaja, dan Karang Taruna agar generasi muda merasa diayomi dan diberikan saluran positif untuk berkumpul dan bertukar pikiran baik sesama remaja maupun remaja dan “kaum tua”. Bila remaja mendapatkan saluran yang positif serta ditanamkan nilai-nilai yang baik secara keagamaan, keadaan ini tentu saja akan memberikan dampak positif yang luar biasa bagi remaja sebagai generasi penerus bangsa.

Pada akhirnya, kerusakan moral generasi muda yang terjadi sekarang ini harus dimaknai sebagai rusaknya peran orang tua, masyarakat, serta tokoh agama dalam menciptakan lingkungan perkembangan moral dan mental yang positif. Kita tidak dapat serta merta menyalahkan para generasi muda serta kenakalan mereka karena dibalik itu semua ada peran serta kita dalam mendukung terjadinya kenakalan tersebut. Kita harus lebih peduli, mengayomi, mendengar serta memberikan eksistensi kepada generasi muda untuk menyalurkan pemikiran, hobi serta minat bakat mereka selama semua itu adalah hal positif.

Sudah menjadi keharusan bagi seluruh lapisan masyarakat untuk mencegah terjadinya penyimpangan perilaku pada pemuda. Tidak hanya itu, pemberian sanksi sosial juga diperlukan untuk menjadi pelajaran bagi pemuda lainnya agar tidak melakukan penyimpangan yang sama. Bagaimanapun juga, sanksi sosial jauh lebih hebat dampaknya daripada sanksi hukum. Bila seluruh lapisan masyarakat aktif dalam melakukan pencegahan, diharapkan perilaku menyimpang pemuda dapat berkurang secara signifikan.

Penyaringan informasi juga perlu dilakukan agar dampak negatif era informasi dapat ditekan. Untuk itu perlu peran serta Pemerintah untuk membuat regulasi dan aturan perundang-undangan yang mampu melindungi generasi muda dalam mengakses informasi baik melalui koran, radio, televisi, handphone maupun internet. Dan kembali, pengawasan dari orang tua dan masyarakat penting untuk memastikan informasi yang diakses berdampak positif bagi perkembangan moral dan mental generasi muda.

Moral Generasi Muda sebagai Modal Bangsa
Generasi muda (remaja dan pemuda) adalah aset utama sebuah bangsa dalam menentukan masa depannya. Rusaknya moral dan mental generasi muda berarti rusak pula suatu bangsa. Baik moral dan mental generasi muda berarti baik pula suatu bangsa. Moral dan mental generasi muda sebagai modal bangsa dalam pembangunan.

Menurut saya pribadi, rusaknya moral bangsa pada generasi muda zaman sekarang dikarenakan penyalahgunaan internet dan media-media elektronik lainnya serta pengaruh budaya luar yang membuat generasi muda mencontoh tanpa menyaring baik-buruknya budaya tersebut. Sangat disayangkan yang seharusnya kemajuan teknologi digunakan untuk hal yang mendidik tapi justru sebaliknya. Bukan hanya itu, kurangnya akhlak serta tayangan-tayangan dari media yang tidak mendidik juga yang membuat masalah-masalah seperti pemerkosaan, tawuran, minum-minuman keras, dll. itu tak jarang dapat ditemui di Indonesia.



Senin, 09 Mei 2016

Sertifikat



Sertifikat tersebut saya peroleh karena telah berpartisipasi dalam seminar nasional “Sustainable Utilization of Natural Resource in The Context of Trade Liberalization and Export Growth in Indonesia” yang termasuk dalam rangkaian acara Gunadarma Sharia Economic Event 2016.
            Seminar ini mendatangkan pembicara:Ir. R. Sjarief Widjaja, Ph.D., FRINA (Sekjen KKP RI), Amran Sulaiman (Menteri Pertanian RI), serta Representatif Perusahaan Pertambangan. Salah satu materi yang dibahas diseminar ini adalah mengenai bagaimana cara menghadapi MEA (“Masyarakat Ekonomi Asean”) dan perkembangan SDA(sumber daya alam) yang ada di Indonesia. Materi tersebut cukup menarik sehingga dapat bermanfaat bagi peserta seminar tersebut.




Sertifikat ini saya dapatkan karena telah berpartisipasi dalam acara "Jakarta Smart City". Dalam acara tersebut, peserta diajak untuk mengunjungi Jakarta Smart City Lounge yang beralamat di Balai Kota DKI Jakarta Blok B Lt. 3,, Jalan Medan Merdeka Selatan No.8-9, Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Disana peserta ditunjukan oleh fasilits-fasilitas yang ada dalam Jakarta Smart City dan narasumber-narasumber menunjukan cara kerja aplikasi yang ada dalam Jakarta Smart CIty tersebut.



*Sertifikat seminar ini dipost hanya untuk memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Web Science. 






Selasa, 03 Mei 2016

Perbedaan Budaya Indonesia , Jepang , China

II.1 Definisi Budaya
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Beberapa alasan mengapa orang mengalami kesulitan ketika berkomunikasi dengan orang dari budaya lain terlihat dalam definisi budaya: Budaya adalah suatu perangkat rumit nilai-nilai yang dipolarisasikan oleh suatu citra yang mengandung pandangan atas keistimewaannya sendiri.”Citra yang memaksa” itu mengambil bentuk-bentuk berbeda dalam berbagai budaya seperti “individualisme kasar” di Amerika, “keselarasan individu dengan alam” d Jepang dan “kepatuhan kolektif” di Cina. Citra budaya yang brsifat memaksa tersebut membekali anggota-anggotanya dengan pedoman mengenai perilaku yang layak dan menetapkan dunia makna dan nilai logis yang dapat dipinjam anggota-anggotanya yang paling bersahaja untuk memperoleh rasa bermartabat dan pertalian dengan hidup mereka.
Dengan demikian, budayalah yang menyediakan suatu kerangka yang koheren untuk mengorganisasikan aktivitas seseorang dan memungkinkannya meramalkan perilaku orang lain.

II. 2     Tadisi Pemilihan Nama dan Tanda Tangan
1.      Tradisi Penamaan di Jepang
Nama di Jepang terdiri dari dua bagian : family name dan first name. Nama ini harus dicatatkan di kantor pemerintahan (kuyakusho), selambat-lambatnya 14 hari setelah seorang bayi dilahirkan. Semua orang di Jepang kecuali keluarga kaisar, memiliki nama keluarga. Tradisi pemakaian nama keluarga ini berlaku sejak jaman restorasi Meiji, sedangkan di era sebelumnya umumnya masyarakat biasa tidak memiliki nama keluarga. Sejak restorasi meiji, nama keluarga menjadi keharusan di Jepang. Dewasa ini ada sekitar 100 ribu nama keluarga di Jepang, dan diantaranya yang paling populer adalah Satou dan Suzuki. Jika seorang wanita menikah, maka dia akan berganti nama keluarga, mengikuti nama suaminya. Namun demikian, banyak juga wanita karir yang tetap mempertahankan nama keluarganya. Dari survey yang dilakukan pemerintah tahun 1997, sekitar 33% dari responden menginginkan agar walaupun menikah, mereka diizinkan untuk tidak berganti nama keluarga [2]. Hal ini terjadi karena pengaruh struktur masyarakat yang bergeser dari konsep “ie”() dalam tradisi keluarga Jepang. Semakin banyak generasi muda yang tinggal di kota besar, sehingga umumnya menjadi keluarga inti (ayah, ibu dan anak), dan tidak ada keharusan seorang wanita setelah menikah kemudian tinggal di rumah keluarga suami. Tradisi di Jepang dalam memilih first name, dengan memperhatikan makna huruf Kanji, dan jumlah stroke, diiringi dengan harapan atau doa bagi kebaikan si anak.

2.      Tradisi penamaan di Indonesia
Adapun masyarakat di Indonesia tidak semua suku memiliki tradisi nama keluarga. Masyarakat Jawa misalnya, tidak memiliki nama keluarga. Tetapi suku di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi memiliki nama keluarga. Dari nama seseorang, kita dapat memperkirakan dari suku mana dia berasal, agama apa yang dianut dsb. Berikut karakteristik nama tiap suku di Indonesia
§  Suku Jawa (sekitar 45% dari seluruh populasi) : biasanya diawali dengan Su (untuk laki-laki) atau Sri (untuk perempuan), dan memakai vokal “o”. Contoh : Sukarno, Suharto, Susilo, Joko, Anto, Sri Miranti, Sri Ningsih.
§  Suku Sunda(sekitar 14% dari seluruh populasi) : banyak yang memiliki perulangan suku kata. Misalnya Dadang, Titin, Iis, Cecep
§  Suku Batak : beberapa contoh nama marga antara lain Harahap, Nasution.
§  Suku Minahasa : beberapa contoh nama marga antara lain Pinontoan, Ratulangi.
§  Suku Bali : Ketut, Made, Putu, Wayan dsb. Nama ini menunjukkan urutan, bukan merupakan nama keluarga.
Selain nama yang berasal dari tradisi suku, banyak nama yang diambil dari pengaruh agama. Misalnya umat Islam : Abdurrahman Wahid, Abdullah, dsb. Sedangkan umat Katolik biasanya memakai nama baptis : Fransiskus, Bonivasius, Agustinus, dsb.

3.      Tradisi Penamaan di China
Sistem pemberian sebuah nama yang baik memang perlu untuk menyesuaikan dengan makna nama, unsur Yin dan Yang serta dibuat dengan mengikut perhitungan matematik Tiongkok kuno. 
Terdapat lima aspek penting yang perlu diberi perhatian dalam memberi nama bayi yang baru lahir.
1.      Nama yang diberi haruslah mengandungi maksud yang baik seperti lambang kekayaan, kemewahan dan kesejahteraan.
2.      Bunyi nama mestilah sedap didengar.
3.      Nama mestilah dibuat berdasarkan kiraan matematik yaitu angka yang berhasil dan tidak bertentangan dan yang sepadan.
4.      Nama yang diberikan haruslah mempunyai pertimbangan unsur Yin dan Yang yang sama berat.
5.      Nama mestilah mempunyai lima unsur yaitu emas, air, api, tanah dan kayu serta saling melengkapi.
Oleh karena itu, maka nama seorang bayi haruslah disusun secara seimbang dengan mengandung unsur Yin dan Yang. Kegagalan memberikan nama yang baik juga akan mempengaruhi perjalanan hidup seseorang, seperti akan ditimpa kecelakaan atau mendapat kesejahteraan.

II.3      Perbandingan Ketiga Tradisi
Persamaan antara kedua tradisi Jepang dan Indonesia
Baik di Jepang maupun di Indonesia dalam memilih nama (first name) sering memilih kata yang mensimbolkan makna baik, sebagai doa agar si anak kelak baik jalan hidupnya. Khusus di Jepang, banyaknya stroke kanji yang dipakai juga merupakan salah satu pertimbangan tertentu dalam memilih huruf untuk anak. Umumnya laki-laki di Jepang berakhiran “ro” (), sedangkan perempuan berakhiran “ko” ().
Sedangkan China terikat dengan generasi,keturunan dan Marganya. Jadi orang luar kadang-kadang sulit mengerti mengapa diambil kata-kata itu, karena ini bukan mengikuti hukum tertentu, tapi mengikuti yang ditentukan oleh leluhurnya. Kalau nama generasi ini habis, ada yang mengulanginya lagi, ada yang membuat nama generasi baru.

II.4      Pengalaman Unik Yang Timbul Akibat Perbedaan Budaya
Bagi orang Indonesia yg datang di Jepang, saat registrasi, misalnya membuat KTP sering ditanya mana yang family name, dan mana yang first name. Hampir setiap saat saya harus selalu menjelaskan perbedaan tradisi antara Indonesia dan Jepang, bahwa di Indonesia tidak ada keharusan memiliki family name. Umumnya hal ini dapat difahami dan tidak menimbulkan masalah. Tetapi adakalanya kami harus menentukan satu nama sebagai family name, misalnya saat menulis paper (artikel ilmiah resmi), atau untuk kepentingan pekerjaan. Saat itu saya terpaksa memakai nama “Nugroho” sebagai family name agar tidak mempersulit masalah administrasi. Demikian juga saat anak saya lahir, kami beri nama Kartika Utami Nurhayati. Nama anak saya walaupun panjang tidak ada satu pun yang merupakan nama keluarga. Tetapi saat registrasi, pihak pemerintah Jepang (kuyakusho) meminta saya untuk menetapkan satu nama yang dicatat sebagai keluarga, karena kalau tidak akan sulit dalam pengurusan administrasi asuransi. Akhirnya nama “Nurhayati” yang letaknya paling belakang saya daftarkan sebagai nama keluarga. Bagi orang Jepang hal ini akan terasa aneh, karena dalam keluarga kami tidak ada yang memiliki nama keluarga yang sama.
Masih berkaitan dengan nama, adalah masalah tanda tangan dan inkan (stempel). Di Indonesia dalam berbagai urusan adminstrasi formal sebagai tanda pengesahan, tiap orang membubuhkan tanda tangan. Tanda tangan ini harus konstan. Banyak orang yang memiliki tanda tangan berasal dari inisial nama, tetapi dengan cara penulisan yang unik yang membedakan dengan orang lain yang mungkin memiliki nama sama. Tanda tangan ini juga yang harus dibubuhkan di paspor saat seorang Indonesia akan berangkat ke Jepang. Tetapi begitu tiba di Jepang, tanda tangan yang semula memiliki peran penting, menjadi hilang perananannya. Tanda tangan di Jepang tidak memiliki kekuatan formal. Tradisi masyarakat Jepang dalam membubuhkan tanda tangan adalah dengan memakai inkan (stempel). Biasanya inkan ini bertuliskan nama keluarga. Ada beberapa jenis inkan yang dipakai di Jepang. Antara lain :
1.      “Mitomein” (認印) dipakai untuk keperluan sehari-hari yang tidak terlalu penting, misalnya saat menerima barang kiriman, mengisi aplikasi.
2.      “Jitsuin” (実印) dipakai untuk keperluan penting, seperti membeli rumah, membeli mobil. Inkan tipe ini harus dicatatkan di kantor pemerintahan.
3.      “Ginkoin” (銀行印) dipakai untuk membuka rekening di bank
“Jitsuin” dan “ginkoin” sangat jarang dipakai dan harus disimpan baik-baik. Karena kalau hilang akan menimbulkan masalah serius dalam bisnis.
Bagi orang asing saat masuk ke Jepang harus membuat inkan. Untuk membuat rekening bank, kita tidak boleh memakai tanda tangan, dan harus memakai inkan. Kecuali yubinkyoku masih membolehkan pemakaian tanda tangan. Karena tidak punya kebiasaan tanda tangan, banyak maka orang Jepang kalau diminta untuk menanda tangan (di paspor misalnya), umumnya mereka menuliskan nama lengkap mereka dalam huruf kanji. Barangkali karena inilah maka kalau saya diminta seorang petugas pengiriman barang, untuk membubuhkan tanda tangan sebagai bukti terima, dia berkata “tolong tuliskan nama lengkap anda”, padahal itu di kolom signature. Sepertinya untuk mereka, tanda tangan sama dengan menulis nama lengkap.
Budaya china terkenal di Negara kita Indonesia Dagang, uang,uang,uang,bisnis,usaha, lalu kaya, kata- kata yang identik dengan orang-orang China. Mereka rajin-rajin dalam usaha, rajin menabung dan sabar sampai akhirnya mereka kaya. Walaupun hanya bisnis kecil, mereka akan tetap menjalankannya. Sampai ada pepatah orang China “Jangan takut saat berjalan pelan, tetapi takutlah saat anda diam” Sebelum mereka berhasil, mereka tidak akan makan makanan lain selain nasi dan tahu. Tentu kita bisa lihat dari penduduk Tiong Hoa sekarang atau tanyakan pada generasi sebelum kita bagaimana kehidupan para keturunan ini. Dari hasil keuntungan usaha mereka, mereka akan menabungnya sampai cukup besar. Bukan untuk bersenang-senang tapi untuk merperluas usaha mereka. Baru sampai mereka rasa cukup, mereka akan bersenang-senang. Tentu saja rumus usaha ini membuat mereka terlihat lebih sukses dibanding kita, penduduk pribumi tanah ini.

II.5 Pemakaian Gesture/Gerak Tubuh Untuk Memberikan Penghormatan dan Kasih Sayang
Salah satu topik menarik untuk dibahas adalah bagaimana memakai bahasa tubuh untuk mengungkapkan penghormatan. Jepang,China dan Indonesia memiliki cara berlainan dalam mengekspresikan terima kasih, permintaan maaf, dsb.
Ojigi
Dalam budaya Jepang ojigi adalah cara menghormat dengan membungkukkan badan, misalnya saat mengucapkan terima kasih, permintaan maaf, memberikan ijazah saat wisuda, dsb. Ada dua jenis 
ojigi : ritsurei (立礼) dan zarei (座礼). 
Ritsurei adalah ojigiyang dilakukan sambil berdiri. Saat melakukan ojigi, untuk pria biasanya sambil menekan pantat untuk menjaga keseimbangan, sedangkan wanita biasanya menaruh kedua tangan di depan badan. Sedangkan zarei adalah ojigi yang dilakukan sambil duduk. Berdasarkan intensitasnya, ojigi dibagi menjadi 3 : saikeirei (最敬礼), keirei (敬礼), eshaku (会釈). Semakin lama dan semakin dalam badan dibungkukkan menunjukkan intensitas perasaan yang ingin disampaikan. Saikeirei adalah level yang paling tinggi, badan dibungkukkan sekitar 45 derajat atau lebih. Keirei sekitar 30-45 derajat, sedangkan eshaku sekitar 15-30 derajat. Saikeirei sangat jarang dilakukan dalam keseharian, karena dipakai saat mengungkapkan rasa maaf yang sangat mendalam atau untuk melakukan sembahyang. Untuk lebih menyangatkan, ojigi dilakukan berulang kali. Misalnya saat ingin menyampaikan perasaan maaf yang sangat mendalam. Adapun dalam budaya Indonesia, tidak dikenal ojigi.
Jabat tangan
Tradisi jabat tangan dilakukan baik di Indonesia maupun di Jepang melambangkan keramahtamahan dan kehangatan. Tetapi di Indonesia kadang jabat tangan ini dilakukan dengan merangkapkan kedua tangan. Jika dilakukan oleh dua orang yang berlainan jenis kelamin, ada kalanya tangan mereka tidak bersentuhan. Letak tangan setelah jabat tangan dilakukan, pun berbeda-beda. Ada sebagian orang yang kemudian meletakkan tangan di dada, ada juga yang diletakkan di dahi, sebagai ungkapan bahwa hal tersebut tidak semata lahiriah, tapi juga dari batin.
Cium tangan
Tradisi cium tangan lazim dilakukan sebagai bentuk penghormatan dari seorang anak kepada orang tua, dari seorang awam kepada tokoh masyarakat/agama, dari seorang murid ke gurunya. Tidak jelas darimana tradisi ini berasal. Tetapi ada dugaan berasal dari pengaruh budaya Arab. Di Eropa lama, dikenal tradisi cium tangan juga, tetapi sebagai penghormatan seorang pria terhadap seorang wanita yang bermartabat sama atau lebih tinggi. Dalam agama Katolik Romawi, cium tangan merupakan tradisi juga yang dilakukan dari seorang umat kepada pimpinannya (Paus, Kardinal). Di Jepang tidak dikenal budaya cium tangan.
            Cium pipi
Cium pipi biasa dilakukan di Indonesia saat dua orang sahabat atau saudara bertemu, atau sebagai ungkapan kasih sayang seorang anak kepada orang tuanya dan sebaliknya. Tradisi ini tidak ditemukan di Jepang.
Sungkem
Tradisi sungkem lazim di kalangan masyarakat Jawa, tapi mungkin tidak lazim di suku lain. Sungkem dilakukan sebagai tanda bakti seorang anak kepada orang tuanya, seorang murid kepada gurunya. Sungkem biasa dilakukan jika seorang anak akan melangsungkan pernikahan, atau saat hari raya Idul Fitri (bagi muslim), sebagai ungkapan permohonan maaf kepada orang tua, dan meminta doa restunya.
Penghormatan dewa-dewi
Dewa-dewi dalam kepercayaan tradisional Tionghoa tak terhitung jumlahnya, ini tergantung kepada popularitas sang dewa atau dewi. Mayoritas dewa atau dewi yang populer adalah dewa-dewi yang merupakan tokoh sejarah, kemudian dikultuskan sepeninggal mereka karena jasa yang besar bagi masyarakat Tionghoa di zaman mereka hidup.
Penghormatan leluhur
Penghormatan kepada nenek moyang merupakan intisari dalam kepercayaan tradisional Tionghoa. Ini dikarenakan pengaruh ajaran Konfusianisme yang mengutamakan bakti kepada orang tua termasuk leluhur jauh.

Baik budaya Jepang, China maupun Indonesia memiliki keunikan tersendiri dalam mengekspresikan rasa hormat, rasa maaf. Jabat tangan adalah satu-satunya tradisi yang berlaku baik di Jepang,China maupun Indonesia. Kesalahan yang sering terjadi jika seorang Indonesia baru mengenal budaya Jepang adalah saat melakukan ojigi, wajah tidak ikut ditundukkan melainkan memandang lawan bicara. Hal ini mungkin terjadi karena terpengaruh gaya jabat tangan yang lazim dilakukan sambil saling berpandangan mata. Kesalahan lain yang juga sering terjadi adalah mencampurkan ojigi dan jabat tangan. Hal ini juga kurang tepat dipandang dari tradisi Jepang.
BAB III
PENUTUP

III.1 Kesimpulan
            Perbandingan budaya antara Indonesia, China dan Jepang bermanfaat untuk mengetahui pola berfikir bangsa Indonesia,Chinia dan bangsa Jepang. Salah satu kesulitan utamanya adalah perbedaan karakteristik ketiga bangsa: bangsa Jepang relatif homogen, sedangkan bangsa Indonesia sangat heterogen. Karenanya, perbandingan akan lebih mudah jika difokuskan pada satu suku bangsa di Indonesia. Misalnya budaya Jepang dengan budaya Jawa Tengah, atau budaya Jepang dengan budaya Sunda. Hal ini menggiring kita pada pertanyaan berikutnya : apakah bangsa Indonesia memiliki budaya nasional ? Ataukah budaya nasional itu tidak lain adalah kumpulan dari warna-warni budaya suku bangsa kita ? Ini merupakan pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab, dan menarik untuk dianalisa lebih lanjut.

A.    Saran
Perbedaan merupakan keniscayaan yang mesti dan harus diterima oleh semua orang dalam kehidupannya. Fakta menunjukkan bahwa manusia memang makhluk unik dan khas. Keunikan dan kekhasan ini dalam konteks bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat akan menimbulkan keragaman kebudayaan disetiap negara. Keragaman ini yang ditunjukkan terdiri atas beragam etnis, agama, dan bahasa. Keanekaragaman yang ada di era globalisasi ini sebaiknya menganut kebudayaan yang positif untuk masyarakat Indonesia sungguh merupakan tantangan yang menuntut upaya sungguh-sungguh dalam bentuk transformasi kesadaran multikultural.





DAFTAR PUSTAKA


Osamu Ikeno, The Japanese Mind: Understanding Contemporary Culture, Tuttle Pub., 2002.

http://jhuenhyie.blogspot.co.id/2013/04/budaya-cina.html